Skandal Konstitusi Ketua MK Suhartoyo Ilegal, Putusan Pilkada 2024 Terancam Batal "

Daftar Isi

 Targetinfo news com 

SINGAPARNA KABUPATEN TASIKMALAYA.

(26/04/2025). Acep Sutrisna-Analis Kebijakan Publik Tasik Utara, mengatakan bahwa :

Berdasarkan pemberitaan dari RMOL.ID tertanggal 1 Maret 2025, Gerakan Pro Konstitusi dan Demokrasi Daerah (GPKD) menyatakan bahwa jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang diemban oleh Dr. Suhartoyo, S.H., M.H., tidak sah secara hukum berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. GPKD berpendapat bahwa seluruh putusan MK terkait sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di bawah kepemimpinan Suhartoyo tidak memiliki legitimasi hukum dan dianggap ilegal. Tuntutan ini didasarkan pada putusan PTUN Jakarta yang menyatakan batalnya pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK, namun yang bersangkutan masih tetap menjabat dan memimpin sidang sengketa Pilkada. Analisis yuridis formal ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif isu tersebut dari perspektif hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan implikasinya terhadap putusan MK terkait Pilkada 2024.

Landasan Hukum.

Untuk menganalisis isu ini, beberapa landasan hukum yang relevan adalah sebagai berikut:

1.     Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

o   Pasal 24 ayat (2): MK merupakan lembaga negara yang independen dan memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dalam perkara konstitusi, termasuk sengketa hasil pemilihan umum.

o   Pasal 24C: Mengatur kewenangan MK, termasuk dalam penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah.

2.     Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

o   Pasal 157: Mengatur mekanisme penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah oleh MK.

3.     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

o   Mengatur kewenangan PTUN untuk memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara, termasuk keputusan pengangkatan pejabat negara.

4.     Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK

o   Mengatur prosedur internal pemilihan pimpinan MK oleh hakim konstitusi.

5.     Putusan PTUN Jakarta Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT

o   Menyatakan batal Keputusan MK Nomor 17 Tahun 2023 tentang pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK periode 2023–2028.

Analisis Yuridis.

1.     Legitimasi Pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK.

Berdasarkan informasi dari pemberitaan, PTUN Jakarta melalui Putusan Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT telah menyatakan bahwa Keputusan MK Nomor 17 Tahun 2023 tentang pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK batal atau tidak sah. Putusan ini diajukan oleh Anwar Usman, mantan Ketua MK, yang mempersoalkan prosedur pengangkatan Suhartoyo setelah dirinya dicopot karena pelanggaran etik berat oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada 7 November 2023.

a.     Kewenangan PTUN dalam Memeriksa Keputusan Pengangkatan Ketua MK

Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, keputusan tata usaha negara adalah keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat atau badan tata usaha negara yang bersifat konkrit, individual, dan final. Keputusan MK Nomor 17 Tahun 2023 tentang pengangkatan Suhartoyo dapat dikategorikan sebagai keputusan tata usaha negara karena bersifat individual (terhadap Suhartoyo) dan final (menentukan status jabatan). Oleh karena itu, PTUN memiliki kewenangan untuk memeriksa keabsahan keputusan tersebut berdasarkan aspek formil (prosedur) dan materil (isi keputusan).

Namun, terdapat pandangan berbeda dari pakar hukum tata negara, seperti yang dikutip dari BBC News Indonesia, yang menyatakan bahwa PTUN tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri urusan internal MK karena MK merupakan puncak kekuasaan kehakiman (judicial supremacy). Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua MKMK, berpendapat bahwa putusan PTUN dapat diabaikan karena tidak ada pihak eksternal, termasuk PTUN, yang berhak mengatur pemilihan pimpinan MK. Pandangan ini didasarkan pada independensi MK sebagai lembaga negara sesuai Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.

b.     Akibat Hukum Putusan PTUN

Secara hukum, putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap ( inkracht van gewijsde ) bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh pihak yang bersengketa, dalam hal ini MK. Putusan PTUN yang menyatakan batalnya pengangkatan Suhartoyo secara hukum mencabut statusnya sebagai Ketua MK. Namun, berdasarkan pemberitaan, Suhartoyo masih tetap menjabat dan memimpin sidang sengketa Pilkada hingga 1 Maret 2025. Hal ini menimbulkan potensi pelanggaran hukum karena bertentangan dengan putusan pengadilan yang sah.

c.  Status Hukum Suhartoyo Pasca-Putusan PTUN

Jika putusan PTUN telah inkracht, maka secara hukum, Suhartoyo tidak lagi memiliki legitimasi untuk menjabat sebagai Ketua MK. Namun, jika MK mengajukan banding atas putusan PTUN (sebagaimana disebutkan dalam sumber BBC News Indonesia tertanggal 14 Agustus 2024), maka status putusan PTUN menjadi tertunda pelaksanaannya hingga putusan banding dikeluarkan. Dalam hal ini, perlu diverifikasi apakah banding tersebut telah diputus atau masih berlangsung hingga Maret 2025. Tanpa kejelasan status banding, keberlanjutan jabatan Suhartoyo dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum.

2. Legitimasi Putusan MK Terkait Pilkada 2024

GPKD berpendapat bahwa seluruh putusan MK terkait sengketa Pilkada 2024 di bawah kepemimpinan Suhartoyo tidak memiliki legitimasi dan dianggap ilegal. Untuk menganalisis klaim ini, perlu dilihat dari dua aspek: formil ( prosedur pengambilan putusan) dan materil (substansi putusan).

a. Aspek Formil: Prosedur Pengambilan Putusan

Putusan MK diambil melalui rapat permusyawaratan hakim (RPH) yang melibatkan sembilan hakim konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan Peraturan MK. Kehadiran Ketua MK dalam RPH bersifat koordinatif, bukan penentu utama putusan, karena putusan diambil secara kolegial. Oleh karena itu, meskipun status Suhartoyo sebagai Ketua MK dianggap tidak sah, putusan MK tetap sah secara formil selama:

· Sidang dipimpin oleh hakim konstitusi yang sah.

· Prosedur RPH sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

· Putusan diambil dengan kehadiran minimal tujuh hakim dan diputuskan melalui musyawarah mufakat atau voting.

Dengan demikian, ketidaksahan jabatan Suhartoyo sebagai Ketua MK tidak secara otomatis membatalkan putusan MK, karena putusan tersebut merupakan produk kolegial, bukan keputusan individual Ketua MK.

b.     Aspek Materil: Substansi Putusan

Putusan MK terkait sengketa Pilkada bersifat final dan mengikat ( final and binding ) sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Dalam praktik, putusan MK dapat dibatalkan hanya melalui mekanisme internal, seperti novum ( bukti baru ) atau judicial review, yang diajukan ke MK itu sendiri. Tidak ada lembaga lain, termasuk PTUN, yang memiliki kewenangan untuk membatalkan putusan MK. Oleh karena itu, klaim GPKD bahwa putusan Pilkada 2024 ilegal karena ketidaksahan jabatan Suhartoyo tidak memiliki dasar hukum yang kuat dari sisi materil.

c. Dampak terhadap Demokrasi Daerah

GPKD menyatakan bahwa putusan MK di bawah Suhartoyo berdampak besar pada keberlangsungan demokrasi daerah, terutama karena beberapa kandidat didiskualifikasi. Namun, diskualifikasi kandidat merupakan bagian dari kewenangan MK untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, seperti batas periode jabatan (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017). Ketidakjelasan regulasi, seperti yang dikritik GPKD, lebih merupakan tanggung jawab pembentuk undang-undang  ( DPR dan Pemerintah ) daripada MK. Oleh karena itu, tuduhan bahwa MK “mencederai demokrasi” perlu dilihat dalam konteks kewenangan konstitusionalnya, bukan hanya pada status jabatan Ketua MK.

3.Implikasi Hukum dan Politik

a. Implikasi Hukum

· Pelanggaran Hukum oleh Suhartoyo: Jika putusan PTUN telah inkracht dan Suhartoyo tetap menjabat, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum ( onrechtmatige daad ) atau bahkan penyalahgunaan wewenang         ( detournement de pouvoir ). Hal ini dapat menjadi dasar gugatan baru atau laporan etik ke MKMK.

·  Keabsahan Putusan MK: Secara hukum, putusan MK tetap sah selama prosedur formil terpenuhi. Namun, ketidaksahan jabatan Suhartoyo dapat menimbulkan keraguan publik terhadap integritas MK, yang berpotensi melemahkan kepercayaan terhadap putusan-putusannya.

· Penyelesaian Sengketa: Untuk menyelesaikan sengketa ini, MK perlu segera melaksanakan putusan PTUN ( jika inkracht ) dengan mencabut pengangkatan Suhartoyo dan mengadakan pemilihan Ketua MK baru sesuai Peraturan MK.

b.mplikasi Politik

· Krisis Kepercayaan Publik: Aksi demonstrasi GPKD pada 28 Februari 2025 menunjukkan adanya krisis kepercayaan publik terhadap MK. Hal ini diperparah oleh persepsi bahwa MK tidak independen dan dipengaruhi oleh kepentingan politik, sebagaimana kritik terhadap putusan sebelumnya (misalnya, kasus batas usia capres-cawapres).

· Stabilitas Demokrasi Daerah: Ketidakpastian hukum akibat status Suhartoyo dapat memicu konflik di daerah, terutama jika putusan MK terkait diskualifikasi kandidat dianggap tidak sah oleh pihak yang dirugikan.

· Hubungan Antarlembaga: Konflik antara putusan PTUN dan sikap MK (yang memilih banding atau mengabaikan putusan) menunjukkan ketegangan antarlembaga negara. Hal ini dapat melemahkan checks and balances dalam sistem ketatanegaraan.

Rekomendasi.

Berdasarkan analisis di atas, beberapa rekomendasi dapat diajukan:

1. Kepatuhan terhadap Putusan PTUN: MK harus segera melaksanakan putusan PTUN jika telah inkracht, dengan mencabut pengangkatan Suhartoyo dan mengadakan pemilihan Ketua MK baru. Jika banding masih berlangsung, MK perlu memberikan klarifikasi publik untuk menjaga transparansi.

2. Peningkatan Transparansi MK: MK perlu memperkuat komunikasi publik untuk menjelaskan prosedur pengambilan putusan agar tidak dianggap sebagai lembaga yang “mencederai demokrasi.”

3. Reformasi Regulasi Pilkada: DPR dan Pemerintah perlu merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 untuk memperjelas ketentuan, seperti batas periode jabatan, guna mencegah sengketa yang berulang.

4.Peningkatan Integritas Hakim: MKMK perlu memastikan bahwa hakim konstitusi, termasuk pimpinan, mematuhi kode etik untuk menjaga integritas dan independensi MK.

Kesimpulan :

Secara yuridis, putusan PTUN Jakarta yang menyatakan batalnya pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK memiliki kekuatan hukum mengikat jika telah inkracht. Keberlanjutan jabatan Suhartoyo pasca-putusan PTUN dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum, namun tidak secara otomatis membatalkan putusan MK terkait Pilkada 2024 karena putusan tersebut bersifat kolegial dan memenuhi syarat formil. Meski demikian, ketidaksahan jabatan Suhartoyo menimbulkan krisis legitimasi dan kepercayaan publik terhadap MK, yang dapat berdampak pada stabilitas demokrasi daerah. Untuk mengatasi isu ini, MK perlu mematuhi putusan PTUN, meningkatkan transparansi, dan mendorong reformasi regulasi Pilkada untuk mencegah konflik serupa di masa depan


IWAN SINGADINATA.

(KONTRIBUTOR BERITA DAERAH)

#PUBLIK,#SEMUAORANG