Skandal PSU Pilkada Tasikmalaya 2025 - KPU Bikin Blunder Hukum, Hasil Pemilu Terancam Batal."

Daftar Isi


Targetinfo news com--//SINGAPARNA KABUPATEN TASIKMALAYA.(23/04/2025).  Acep Sutrisna, Analis Kebijakan Publik Tasik, mengatakan bahwa *  Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Tasikmalaya 2025 yang digelar pada 19 April lalu seolah menjadi panggung drama politik penuh intrik. Pasangan Cecep Nurul Yakin dan Asep Sopari Al-Ayubi, menurut hitung cepat Indikator Politik Indonesia, unggul dengan 53,91% suara, mengalahkan pasangan Iwan Saputra-Dede Muksit Aly (16,91%) dan Ai Diantani-Iip Miftahul Paoz (29,18%). Namun, di balik sorak kemenangan sementara ini, bayang-bayang cacat hukum mengintai. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Tasikmalaya diduga melakukan blunder fatal dengan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Apakah hasil PSU ini akan bertahan, atau justru ambruk di meja hijau MK.

 Latar Belakang: Putusan MK yang Digilas KPU

Pada 24 Februari 2025, MK mengeluarkan Putusan Nomor 132/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang mengguncang Pilkada Tasikmalaya. MK mendiskualifikasi H. Ade Sugianto sebagai calon bupati karena melanggar Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Nomor 10 Tahun 2016, yang melarang seseorang menjabat lebih dari dua periode sebagai bupati. Putusan ini membatalkan sejumlah keputusan KPU, termasuk:

·        Keputusan KPU Nomor 2689 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan.

·        Keputusan KPU Nomor 1574 Tahun 2024 tentang Penetapan Pasangan Calon.

·        Keputusan KPU Nomor 1575 Tahun 2024 tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon.

MK memerintahkan PSU tanpa Ade Sugianto, dengan pengganti calon bupati baru dari partai pengusung, sementara Iip Miftahul Paoz tetap dipertahankan sebagai calon wakil bupati. Ai Diantani, istri Ade Sugianto, akhirnya ditetapkan sebagai pengganti pada 23 Maret 2025. Namun, KPU diduga tidak melaksanakan amar putusan MK ayat 4 dan 5 dengan benar, yakni tidak membatalkan keputusan penetapan pasangan calon dan nomor urut secara formal, serta menggunakan daftar pasangan calon sebelumnya tanpa verifikasi ulang. Inilah akar potensi skandal hukum yang mengguncang legitimasi PSU

Analisis Hukum: Blunder KPU dan Ancaman Cacat Hukum

1.     Pelanggaran Prinsip Electoral Justice dan Integrity

Prinsip electoral justice ( keadilan pemilu ) dan electoral integrity ( integritas pemilu ) adalah pilar demokrasi yang ditegaskan MK dalam Putusan Nomor 132/PHPU.BUP-XXIII/2025:

“Dalam rangka mengukuhkan legitimasi hasil pemilihan umum Bupati dan Wakil Bupati Tasikmalaya Tahun 2024 yang berkeadilan, demokratis, dan berintegritas, tidak ada keraguan lagi bagi Mahkamah untuk mendiskualifikasi H. Ade Sugianto” ( halaman 237 ).

Namun, KPU justru mengkhianati prinsip ini. Dengan tidak membatalkan Keputusan KPU Nomor 1574 dan 1575 Tahun 2024, KPU menggunakan dasar hukum yang telah dibatalkan MK. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan pelanggaran konstitusional terhadap putusan MK yang bersifat final dan mengikat berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Yurisprudensi MK, seperti Putusan Nomor 01/PHPU.PRES/XVI/2019, menegaskan bahwa MK sebagai guardian of citizen’s constitutional rights wajib memastikan keadilan dan integritas pemilu. Ketidakpatuhan KPU ini mencoreng legitimasi PSU dan membuka celah sengketa hukum baru.

2.     Implikasi Hukum: PSU Berpijak pada Dasar yang Rapuh

Amar putusan MK ayat 4 dan 5 secara tegas membatalkan penetapan pasangan calon dan nomor urut. Artinya, daftar pasangan calon sebelumnya tidak lagi sah secara hukum. Dengan tetap menggunakan daftar lama tanpa pembatalan formal, KPU melanggar Pasal 157 ayat (3) UU Pemilihan, yang mewajibkan MK mengadili perselisihan penetapan hasil pemilu. Putusan MK Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 (halaman 40) menegaskan:

“Mahkamah tidak memiliki alasan untuk menghindar mengadili masalah hukum pemilu yang terkait dengan tahapan pemilu berkenaan dengan penetapan suara sah hasil pemilu.”

Pelanggaran KPU ini bersifat substansial karena memengaruhi dasar hukum penyelenggaraan PSU. Jika hasil PSU diajukan ke MK melalui Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), besar kemungkinan MK akan membatalkan hasilnya, sebagaimana preseden dalam Putusan MK Nomor 84/PHP.BUP-XIX/2021, yang membatalkan hasil pemilu akibat pelanggaran substansial.

3.     Potensi Pembatalan Hasil PSU

Dua argumen utama mendukung potensi pembatalan hasil PSU:

·        Ketidaksesuaian dengan Putusan MK: KPU gagal mematuhi amar putusan yang mengikat, menciptakan ketidakpastian hukum.

·        Cidera pada Legitimasi PSU: Proses PSU yang cacat hukum bertentangan dengan prinsip electoral justice dan electoral integrity, merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi lokal.

Jika pasangan calon yang kalah, seperti Ai Diantani-Iip Miftahul Paoz atau Iwan Saputra-Dede Muksit Aly, mengajukan gugatan PHPU, MK berpotensi memerintahkan PSU ulang dengan dasar hukum yang benar. Ini bukan spekulasi, melainkan pelajaran dari sejarah Pilkada Tasikmalaya yang penuh sengketa.

Pendaftaran Ulang Paslon: KPU Lupa Aturan?

1.     Ketentuan Regulasi

Putusan MK memerintahkan partai pengusung mengusulkan pengganti Ade Sugianto tanpa mengganti Iip Miftahul Paoz. Namun, apakah pasangan calon baru harus mendaftar ulang? Pasal 14 ayat (2) huruf m PKPU Nomor 8 Tahun 2024 mewajibkan calon bupati belum pernah menjabat dua periode, sementara Pasal 19 mengatur penghitungan masa jabatan secara faktual sejak pelantikan. Putusan MK (halaman 238) menegaskan bahwa pengganti calon harus diverifikasi sesuai ketentuan, yang mengindikasikan kebutuhan pendaftaran ulang.  Pasal 9 PKPU Nomor 8 Tahun 2024 mensyaratkan tahapan pendaftaran, verifikasi, dan penetapan calon. 

2.     Preseden MK

Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 menegaskan bahwa MK berwenang mengadili sengketa proses pencalonan, termasuk dalam PSU. Dalam Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022, MK menyatakan bahwa perubahan tafsir UUD 1945 menghapus dikotomi antara pemilu nasional dan pilkada, sehingga pelanggaran proses pencalonan dapat menjadi dasar pembatalan. Kegagalan KPU melakukan pendaftaran ulang bisa menjadi amunisi bagi paslon lain untuk menggugat hasil PSU.

3.     Mengapa Pendaftaran Ulang Krusial?

Pendaftaran ulang bukan sekadar formalitas, melainkan jaminan integritas pemilu. Verifikasi ulang memastikan bahwa calon pengganti memenuhi syarat substantif, seperti tidak melanggar batas periode jabatan atau memiliki dokumen yang sah. Tanpa proses ini, PSU rentan digugat sebagai pelanggaran tahapan pemilu, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 132/PHP.BUP-XIX/2021.

Dampak Politik dan Sosial

Skandal ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga kepercayaan publik. Tasikmalaya, dengan 1,4 juta pemilih dan 2.847 TPS, telah menggelontorkan Rp 60 miliar untuk PSU. Jika hasil PSU dibatalkan lagi, kerugian finansial dan kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi lokal akan semakin tergerus. Demonstrasi masyarakat terhadap KPU dan Bawaslu pasca-putusan MK pada Februari 2025 menunjukkan betapa panasnya dinamika politik di Tasikmalaya.

 Kesimpulan

1.     Hasil PSU Terancam Batal: Pelanggaran KPU terhadap amar putusan MK ayat 4 dan 5 menciptakan cacat hukum yang substansial. Dengan mengabaikan pembatalan keputusan penetapan pasangan calon dan nomor urut, KPU menyelenggarakan PSU di atas dasar hukum yang rapuh. Yurisprudensi MK menunjukkan bahwa pelanggaran seperti ini dapat membatalkan hasil pemilu.

2.     Pendaftaran Ulang Wajib: Pasangan calon baru, khususnya Ai Diantani-Iip Miftahul Paoz, harus melalui pendaftaran ulang untuk memenuhi PKPU Nomor 8 Tahun 2024 dan amar putusan MK. Kegagalan KPU melakukan verifikasi ulang membuka celah sengketa hukum.

Pilkada Tasikmalaya 2025 seharusnya menjadi pesta demokrasi, bukan ladang sengketa. KPU harus belajar dari blunder ini, atau Tasikmalaya akan terus terjebak dalam lingkaran PSU yang melelahkan. Publik menanti, apakah MK akan kembali mengoreksi atau membiarkan cacat hukum ini berlalu.


IWAN SINGADINATA.

(KONTRIBUTOR BERITA DAERAH)

@MAHKAMAH KONSTITUSI

@KPU KABUPATEN TASIKMALAYA

@BAWASLU KABUPATEN TASIKMALAYA

@KOMINFO KABUPATEN TASIKMALAYA

#PUBLIK,#SETIAPORANG